DJP Perkuat Strategi Komunikasi

[IMG:img-3015-resized.jpeg]

Tak banyak organisasi pemerintah yang menyadari pentingnya perencanaan komunikasi yang strategis bagi penciptaan komunikasi yang efektif kepada publik melalui media. Salah satu lembaga pemerintah yang menyadari pentingya hal tersebut adalah Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI.

Perencanaan komunikasi strategis sangat penting bagi korporasi atau organisasi agar tidak reaktif dalam menghadapi dinamika sesaat yang berkembang di tengah masyarakat. Sebab, sikap reaktif terkadang justru kontraproduktif bagi penyelesaian krisis. Dengan perencanaan komunikasi strategis, organisasi dapat fokus dan secara bertahap menjalankan strategi komunikasi yang menjadi prioritasnya tanpa terganggu atau beralih fokus di tengah jalan.

Setidaknya pemikiran itulah yang menjadi benang merah diskusi yang berkembang dalam pelatihan “Media Handling Management Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia” yang diselenggarakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat untuk Humas DJP di Jakarta, Rabu-Kamis (12-13/11/2014).

Acara ini diikuti sedikitnya 40 pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berasal dari kantor pusat maupun utusan dari Kanwil se-Jabodetabek dan Banten. Mengusung tema “Komunikasi Kehumasan dan Mengelola Hubungan dengan Pers”, pelatihan ini dibuka oleh Anita Widiati selaku Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat DJP.

Dalam sambutan, Anita mengatakan acara ini diselenggarakan untuk memberikan pengetahuan bagi para pegawai DJP mengenai media dan kehumasan. Usai acara para peserta diharapkan dapat menyusun strategi komunikasi kehumasan yang tepat setidak-tidaknya untuk setahun ke depan.

“Saya berharap workhsop hari ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Agar kita mengetahui bagaimana menyusun strategi kehumasan setahun ke depan. Nanti kita akan FGD (Focus Group Discussion), oleh karena itu saya harap lebih banyak dialog,” ujar Anita.

Usai dibuka secara resmi, sejumlah narasumber lalu mengisi sesi demi sesi. Diawali oleh presentasi Asmono Wikan, Direktur Eksekutif SPS Pusat yang menyampaikan materi Media Landscape di Indonesia. Sebelum masuk materi, Asmono menjelaskan pentingnya perencanaan komunikasi bagi sebuah organisasi atau korporasi. “Di mana-mana organisasi butuh perencanaan. Ibarat makanan, komunikasi itu nomor enam setelah empat sehat lima sempurna,” katanya.

Salah satu saluran komunikasi yang efektif adalah menggunakan media massa atau pers. Untuk memperkenalkan sekilas industri media di Indonesia kepada para peserta, Asmono menjelaskan, di Indonesia kini banyak sekali media yang beredar. Namun, ia mengingatkan, tidak semua media adalah pers. Pers mensyaratkan adanya aktivitas jurnalistik mulai dari merencanakan, mencari, menulis, mengedit, hingga mempublikasikannya berita dengan mematuhi UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Menurut Asmono, secara makro industri media di Indonesia dikuasai oleh sejumlah grup besar dan beberapa grup kecil yang tersebar dari Aceh hingga Papua. “Dua penguasa terbesar media di Indonesia saat ini adalah grup Jawa Pos dengan bendera Radar dan Kompas Gramedia dengan bendera Tribun,” katanya.

Lebih lanjut Asmono menjelaskan, dibandingkan industri lainnya seperti perbankan, sejatinya nilai kapitalisasi dari industri media di Indonesia tidak sebanding. Mengacu pada total belanja iklan tahun 2013 yang dipublikasikan sejumlah lembaga, nilai total belanja iklan hanya sebesar Rp 100 triliun atau hanya seperlima dari total aset yang dimiliki Bank Mandiri.

Kendati nilai kapitalisasinya kecil, namun industri media menjadi “rebutan” banyak orang. Tak heran jika banyak pengusaha yang tak punya basic media, masuk ke industri ini. Namun, realitanya tidak semua pengusaha yang masuk ke industri media berhasil. Mereka yang berhasil umumnya karena membeli media yang telah eksis sebelumnya.

“Yang membuat bisnis media menjadi wow itu adalah pengaruh. Karena mampu membangun opini publik sehingga media menjadi luar biasa. Itu yang tidak dimiliki institusi sipil manapun di seluruh di dunia. Media bisa membuat orang hitam atau putih seketika,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini Asmono juga menjelaskan teknik menghadapi wartawan. Menurut dia cara terbaik untuk menghadapi wartawan adalah mengacu pada Kode Etik Jurnalistik. Terkait banyaknya ‘wartawan bodrek’, Asmono menyarankan agar memperlakukan mereka sebagaimana masyarakat biasa lainnya. “Jika mereka mengancam atau memeras, sebaiknya disampaikan bahwa mereka akan dilaporkan ke Dewan Pers atau bahkan ke Kepolisian,” katanya.

Sementara itu, narasumber kedua, Yosep Adi Prasetyo (Ketua Komisi Hukum Dewan Pers), menyampaikan materi tentang Regulasi Pers dan Pembuatan Hak Jawab. Menurut pria yang biasa disapa Stanley ini, selain memahami kode etik jurnalistik, praktisi humas juga harus mampu membuat hak jawab dan hak koreksi jika ada pemberitaan media yang merugikan lembaganya.

Ditegaskan Stanley, seseorang atau lembaga yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers dapat menggunakan hak tesebut. Namun, pada prinsipnya penggunaan hak jawab tidak bisa dilakukan sembarangan. Hak jawab dilakukan dengan pertimbangan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan profesionalitas. Oleh kerana itu, dalam prakteknya, media tidak selamanya bisa serta merta memuat hak jawab yang disampaikan oleh narasumber.

Pada sesi ini, Stanley juga memandu para peserta untuk membuat hak jawab atas pemberitaan media massa. Meski disampaikan di “waktu rawan mengantuk”, namun sesi ini cukup hidup. Para peserta yang dibagi dalam tiga kelompok antusias berdiskusi merumuskan hak jawab hak jawab dan mempresentasikannya di depan peserta lainnya. Secara umum Stanley menilai para peserta telah mampu membuat hak jawab dengan baik.

Terkait pertanyaan dari peserta tentang bagaimana menghadapi wartawan bodrek, Stanley menyarankan agar para praktisi humas berpedoman pada kode etik jurnalistik. Bila perlu, hal itu ditempel di ruangan Humas. “Jika mereka masih mendesak atau memeras, silakan sms atau telepon saya atau ke kantor Dewan Pers,” ujarnya.

Sesi penutup pelatihan hari pertama, diisi oleh Lahyanto Nadie, Redaktur Pelaksana Harian Bisnis Indonesia. Dia menjelaskan materi tentang Pembuatan Press Release dari Sudut Pandang Media. “Agar press release yang kita kirim dimuat media, maka cara menulisnya harus seperti wartawan menulis berita, langsung dengan gaya piramida terbalik,” katanya.

Dia menyarankan, press release harus dibuat menarik sehingga memikat redaktur media, sebab setiap hari ada begitu banyak press release yang masuk ke redaksi. Press release yang tidak menarik dan tidak kuat isunya akan diabaikan redaktur media.

Jika pada hari pertama pelatihan peserta mendapatkan materi terkait media, memasuki hari kedua workshop difokuskan pada perencanaan komunikasi kehumasan. Acara hari kedua dipandu oleh Direktur DASA Strategic, SAM August Himawan. Menurutnya, para praktisi humas harus bisa merumuskan strategi komunikasi yang tepat. Karena itu sesi pertama pelatihan di hari kedua diisi dengan materi tentang Strategic Communication Design yang disampaikan oleh Salman Noersiwan Bachtiar, Direktur Pemasaran DASA Strategic.

Pria yang telah kenyang pengalaman dunia PR dan CSR di sejumlah korporasi ini menjelaskan, untuk merancang strategi komunikasi yang jitu, prosesnya diawali dengan membuat mini audit dan analisis readership khalayak. Analisis readership dilakukan mulai dari receiver ke channel lalu ke sender

Selain itu, lanjut Salman, institusi juga perlu membuat pemetaan mengenai khalayak yang akan menerima pesan, menelusuri alur komunikasi, memetakan jarak, pola distribusi dan saluran komunikasinya, kemudian kemasan pesan yang melekat pada pesan yang akan disampaikan.

Menyambung materi pertama, Setya Yudha Indraswara, partner DASA Strategic, memandu materi tentang Implementasi Strategi Komunikasi. Sesi ini lebih banyak diisi dengan diskusi karena memang dimaksudkan untuk mengidentifikasi masalah-masalah komunikasi yang dialami DJP. Menurut Setya, sebelum melakukan komunikasi, penting bagi seorang humas untuk mengetahui apa yang akan dikomunikasikan. Hal itu bisa dilihat dari konten, komunikator, gaya komunikasi, channel yang digunakan, komunikannya, serta kondisi dan perubahannya.

Dalam diskusi berkembang sejumlah pendapat, di antaranya ada pemikiran karena masalah pajak merupakan salah satu masalah utama bangsa Indonesia, maka yang harus bicara kepada publik mestinya tak cukup hanya pegawai DJP. Bila perlu yang bicara langsung presiden sebagai pemimpin tertinggi negara dan diikuti para menterinya.

Usai istirahat makan siang, acara dilanjutkan dengan FGD untuk memetakan masalah komunikasi dan stakeholder typology: power, legitimacy, urgency. Sesi ini dipandu oleh Direktur Operasional DASA Strategic, SAM August Himmawan. Selama lebih dari tiga jam, SAM memandu peserta memetakan masalah komunikasi yang dihadapi DJP. Hal itu dilakukan dengan membagi peserta dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok diminta mengidentifikasi isu komunikasi internal dan eksternal serta memetakan stakeholders komunikasi DJP.

Setelah sesi Focus Group Discussion selesai, pelatihan pun akhirnya ditutup oleh Saraswati Simarangkir, Kepala Seksi Pengelolaan Berita Direktorat Jenderal Pajak. Dari pelatihan ini, selain mendapatkan pengetahuan tentang media dan strategi komunikasi, para peserta juga berhasil mengidentifikasi permasalahan komunikasi yang dihadapi oleh DJP. Selanjutnya, hasil FGD tersebut akan diolah untuk menjadi bahan dalam merumuskan strategi komunikasi bagi Humas DJP. *** nia/nif/asw