Pimpinan BNI Membincang Media

[IMG:workshop-bni-sps-47-edit.jpeg]

Kemampuan mengelola hubungan baik dengan media kini bukan hanya monopoli praktisi humas/PR semata. Lebih dari itu, pegawai di level pimpinan/senior manajer pun dituntut kapabilitasnya dalam menghadapi media. Hemat kata, apapun kondisinya mereka harus selalu siap berhadapan dengan media. Demikian benang merah Sharing Session tentang Pers yang Sehat dan Bermartabat, yang diselenggarakan PT Bank BNI 46 bekerjasama dengan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat yang diikuti  28 Kepala Divisi dan CEO Wilayah Bank BNI, di Gedung Bank BNI, Jakarta, Jumat (12/12/2014).

“Acara ini diselenggarakan untuk memberikan pengetahuan bagi para pegawai PT Bank BNI mengenai media, bagaimana mengelola hubungan yang baik dengan wartawan, dan bagaimana menjadi jurubicara handal di depan media,” kata Corporate Secretary Bank BNI, Tribuana Tungga Dewi, saat membuka sharing session tersebut.

Usai dibuka secara resmi, sejumlah narasumber lalu mengisi sesi demi sesi. Diawali oleh presentasi Direktur Pemberitaan Metro TV, Suryopratomo. Dalam diskusi selama sekira satu jam, Mas Tomy, demikian ia biasa disapa, menyampaikan materi bertajuk “Jangan Takut Berkomunikasi". Pria yang lama menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kompas sebelum hijrah ke Metro TV ini mengajak pimpinan BNI agar tidak takut berkomunikasi dengan media, terlebih di saat perusahaan mengalami masalah atau krisis.

Ia menegaskan, wartawan sebenarnya adalah teman yang bisa membantu mengkomunikasikan apa yang didapat dan diperoleh perusahaan. Karena itu perlakukan wartawan seperti layaknya teman, sehingga mereka pun merasa dihargai. Untuk berkomunikasi dengan wartawan, narasumber dapat melakukan dengan tiga bentuk. Pertama, on the record atau komunikasi yang boleh dikutip dan diberitakan. Kedua, background atau menyampaikan informasi sebagai latar belakang wartawan untuk memahami sebuah isu. Ketiga, off the record, dalam hal ini informasi yang disampaikan tidak untuk dikutip atau diberitakan.

"Sebaiknya berikan bacground atau briefing kepada wartawan secara berkala jangan hanya ketika ada persoalan. Sehingga ketika terjadi persoalan, wartawan sudah punya informasi terkait konteks dan isinya secara komprehensif. Informasi yang memadai memungkinkan wartawan untuk membuat berita dengan benar dan akurat," katanya.

Di akhir presentasi. Tomy mengingatkan kerja media adalah kerja tim. Satu orang reporter tidak bisa menggunakan media untuk blackmail. Karena reporter harus lapor ke editor/redaktur, redaktur harus ke redaktur pelaksana. Jadi ada proses gatekeeping yang panjang. Karena itu jika ada seorang reporter nakal yang mengancam, tidak perlu takut, laporkan saja ke redaksinya, atau ke Dewan Pers.

Sesi kedua, narasumber yang tampil adalah Asmono Wikan selaku Direktur Eksekutif SPS Pusat. Ia menyampaikan materi Media Landscape di Indonesia. Asmono menjelaskan, dari ribuan media yang beredar di Indonesia sesungguhnya yang menguasai hanyalah sekitar 13 grup media. “Sebagai seorang humas jangan mengenal wartawan yang bawah saja atau atas saja tetapi semua tingkatan, termasuk yang di tengah editor,” ujarnya.

Sementara itu di sesi ketiga, Alvito Deannova Gintings, Anchor dan GM Current Affairs TV One menyampaikan materi “Menjadi Spokesperson yang Handal”. Menurut Alfito ada dua kegagalan spokesperson hadapi media yaitu takut dan terlalu percaya diri. Sama seperti Tomy, Alfito juga menyarankan agar menghadapi krisis dengan terbuka.

“Ketika sedang tertimpa krisis Ingatlah selalu jangan pernah katakan tidak pada media. Kalau saat ada krisis ketika ditanya wartawan dan mengatakan tidak, kita akan diframe media bersalah. Usahakan kalau ada krisis kita lebih baik satu pintu. Ketika diminta tanggapannya harus dijawab. Pilihannya kalau tidak dijawab media akan cari data sendiri atau sumber informasi dari orang lain,” ujarnya. *** nia/nif/asw