Dari Forum The 1st Corporate Leadership Forum di Bangkok: Merangkai Strategi Cerita Positif bagi Korporasi

[IMG:all-participants-3-edit.jpeg]

Apa fungsi yang membuat seorang corporate communications dan corporate secretary memiliki persamaan? Tak lain adalah sebagai komunikator. Soalnya kini, sesiap apakah seorang corporate secretary mampu memerankan fungsi dan tugasnya sebagai komunikator yang tangguh bagi korporasi atau organisasinya?

Dalam banyak realitas di Indonesia, jabatan seorang sekretaris perusahaan (corporate secretary), tidak selalu berasal dari latar belakang bidang komunikasi, atau pernah merintis karir di departemen komunikasi perusahaan atau organisasi yang dinaunginya. Dan ketika mencapai posisi tersebut, seorang corporate secretary dihadapkan pada tuntutan untuk memahami dan sekaligus mampu mengelola aktivitas komunikasi departemen yang ia pimpin. Tujuannya jelas: untuk membantu pencapaian reputasi organisasi atau korporasinya.

Memahami dinamika komunikasi dan relasinya dengan beragam pemangku kepentingan, termasuk pers salah satunya, dengan demikian adalah sebuah keniscayaan yang harus dimiliki para pejabat corporate secretary. Dan, bukan hal mudah berkomunikas dengan begitu banyak ragam pemangku kepentingan. “Itulah sebabnya kemampuan berkomunikasi bagi seorang corporate secretary menjadi sangat vital,” ungkap Yanti Pramudia, Presiden Direktur Cognito, sebuah konsultan komunikasi di Jakarta. Yanti berbicara hal ini di depan peserta The 1st Corporate Leadership Forum yang diselenggarakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat dan Majalah PR Indonesia di Bangkok, Thailand, 29 April 2015.

Menurut Yanti, peran sebagai seorang komunikator penting dimiliki corporate secretary. “Supaya mampu mengelola berbagai pesan untuk beragam pemangku kepentingan korporasi/organisasinya yang berbeda itu dengan baik dan optimal,” imbuhnya. Pesan yang dikomunikasikan itu, tentu bukan sekadar pesan tanpa makna. Butuh perencanaan yang matang agar pesan (messages) yang disampaikan kepada para pemangku kepentingan relevan dengan tujuan yang hendak dicapai korporasi/organisasi.

“Pesan itu butuh narasi yang relevan, yang dirancang dengan baik dan strategis supaya menghasilkan efek komunikasi yang optimal,” sambung Sri Lestari, kolega Yanti yang turut memandu pelatihan selama tiga hari tersebut.

Akurasi Pemberitaan

Sehari sebelum kedua konsultan komunikasi itu berbicara dan memfasilitasi diskusi seharian dengan para peserta, di hari pertama, Selasa (28/04/2015), para peserta diajak memperdalam pengetahuan mereka tentang situasi mutakhir pers di Indonesia oleh Asmono Wikan, Direktur Eksekutif SPS Pusat. Menurut Asmono, mengenali pers di Indonesia sejatinya tidak sulit-sulit amat. Secara matematis, pers di Indonesia “didominasi” oleh kehadiran sekitar 15 kelompok usaha pers di pasar.

Mereka terentang dari Kelompok Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, MNC Group, Berita Satu Holding, MRA Media, Trans Corporation, Emtek Grup, Media Group, Viva Group, Tempo Inti Media Group, Mahaka Media Group, Femina Group, Masima Corporation, hingga kelompok usaha media di daerah seperti Bali Post Group, Suara Merdeka Group, Kedaulatan Rakyat Group, dan Pikiran Rakyat Group. Di luar itu sebenarnya masih terdapat kelompok atau penerbit media (cetak) “kelompok tengah” yang masih eksis diantara kompetisi yang berlangsung antara KKG dan Jawa Pos Group, yakni harian Waspada dan Analisa di Medan, harian Singgalang di Padang, dan kelompok Haluan di Padang, Pekanbaru, dan Batam.

Pengetahuan terhadap kelompok-kelompok pers itu penting bagi para corporate secretary sebagai peta dalam merencanakan strategi komunikasi kepada para pemangku kepentingan. “Kelompok-kelompok perusahaan pers itu dikenal sebagai media utama (mainstream) yang menghiasai dinamika industri pers di Indonesia dalam kurun tiga dekade belakangan ini,” ujar Asmono. Dalam diskusi yang berkembang, sejumlah peserta menanyakan apakah cukup mengenal kelompok media mainstream itu saja sebagai partner dalam berkomunikasi? “Bagaimana dengan media online yang banyak sekali muncul belakangan ini? Apa yang harus dilakukan dalam meng-handle mereka,” ucap Budi Asikin, Corporate Secretary Pupuk Indonesia.

Merespons hal tersebut, Asmono meyakinkan bahwa pada hakekatnya fokus handling media selayaknya diarahkan pada kategori media mainstream saja, termasuk media online mainstream. “Tapi bukan berarti tidak memerhatikan perusahaan pers lainnya yang tergolong sebagai quality press (pers yang memiliki konten berkualitas),” katanya. Ia mengakui, dalam konteks pemberitaan di media online –baik yang mainstream maupun apalagi yang tidak mainstream—acapkali dijumpai pemberitaan yang tidak akurat yang merugikan narasumber. “Semestinya dengan diterbitkannya Pedoman Pemberitaan Media Siber oleh Dewan Pers, aspek akurasi pemberitaan di media online semakin meningkat saat ini,” ungkap Pemimpin Redaksi majalah PR Indonesia ini.

Pada hakekatnya, manajemen relasi dengan perusahaan pers harus dilakukan secara berjenjang. “Meskipun Anda sudah mengenal pemimpin redaksinya, tapi jajaran di bawahnya juga harus dikenali dan dipelihara hubungannya dengan baik secara berkelanjutan,” tuturnya lagi.

Miskin Story Telling

Disamping persoalan hubungan  baik antara korporasi atau organisasi dengan pers, selayaknya para corporate secretary memproduksi sebanyak mungkin cerita-cerita positif tentang kinerja perusahaannya kepada publik. Baik atau pun tanpa menggunakan media secara formal. “Kita ini masih miskin dengan story telling yang baik. Padahal salah satu fungsi strategis komunikator adalah memproduksi dan mendistribusikan stories kepada para pemangku kepentingannya. Telling the stories,” tegas Asmono.

Tentu saja ini tak mudah. Lantaran pers acapkali alergi dengan cerita-cerita baik yang meluncur dari sebuah korporasi atau organisasi. Masih lekat dalam benak publik, termasuk para komunikator ini, bahwa yang laku di mata pers adalah berita-berita negatif. Selaras dengan kredo “bad news is a good news”. Benarkah demikian? “Saya kira tidak selamanya begitu. Yang penting asal mampu mengaitkan berita-berita baik korporasi tadi selaras dengan agenda setting pers di Indonesia, berita baik tentu akan memperoleh ruang untuk ditampilkan di media,” tuturnya lebih lanjut.

Agenda setting media yang ia maksud antara lain tentang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, penciptaan pemerintahan yang bersih, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Di hari ketiga workshop, Kamis (30/4/2015) para peserta diajak panitia mengunjungi kantor redaksi Bangkok Post, koran berbahasa Inggris terbesar di Thailand, yang kini bertiras rata-rata 75 ribu eksemplar per hari. “Saya kira ini model workshop yang menarik. Karena peserta selain memperoleh ilmu baru dari narasumber, juga bisa bertemu dan sharing dengan sesama peserta,” ucap Eko Waluyo, Corporate Secretary Bank BTN mengomentari jalannya acara.

“Saya menemukan banyak contoh kasus problematika PR dari narasumber dan sesama peserta. Jejaring saya juga semakin bertambah,” imbuh Rianasari, Kepala Biro Sekretariat dan Protokol Perum Peruri, yang tak sabar ingin mengikuti lagi forum serupa selanjutnya. *** (asw)