PTPN V Perkuat Kemampuan Tim Humas

[IMG:main-image.png]

Humas merupakan ujung tombak bagi sebuah instansi atau organisasi dalam membangun hubungan komunikasi dengan para pemangku kepentingan. Antara lain dengan wartawan dan masyarakat. Tak pelak, setiap praktisi humas harus mampu memahami karakter pemangku kepentingannya masing-masing. Begitulah benang merah pelatihan selama dua hari yang diselenggarakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat untuk tim humas PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V (Persero), di Pekanbaru, 23 – 24 Juni 2014.

Lebih dari 60 karyawan PTPN V yang berasal dari seluruh kebun dan pabrik di lingkungan perusahaan, hadir mengikuti pelatihan ini. Mereka sehari-hari sejatinya menjabat sebagai Asisten Umum. Namun oleh perusahaan, mereka mendapatkan tambahan fungsi sebagai humas perusahaan di wilayah kebun atau pabrik masing-masing yang tersebar di propinsi Riau.

Mengusung tema “Meningkatkan Kemampuan Kehumasan Melalui Media Relations yang Baik”, pelatihan dibuka oleh Direktur Produksi PTPN V  Suharjoko. Saat membuka acara, ia mengatakan. "Apapun soal kehumasan yang terjadi, jangan terlambat eksposenya," ujarnya kepada para peserta.

Usai dibuka resmi, sejumlah narasumber lalu mengisi sesi demi sesi. Diawali oleh presentasi Asmono Wikan, Direktur Eksekutif SPS Pusat yang menyampaikan materi Media Landscape di Indonesia. Asmono mengajak peserta membedakan tentang “Pers” dan “Media”. Menurutnya, tidak setiap media adalah pers, namun setiap pers pasti merupakan media. Sementara itu, Magdalena Wenas, President PR Society Indonesia yang tampil di belakang Asmono mengatakan, “Seorang humas seyogianya membuat jurnal isu tiap hari agar siap menghadapi krisis."

Jurnal isu menjadi hal yang kritikal, karena melalui jurnal inilah setiap saat praktisi humas perusahaan bisa menganalisa perkembangan situasi di lingkungan usaha, guna mendeteksi potensi krisis yang mungkin terjadi. Seperempat dari jatah  waktu Magda dimanfaatkan untuk mengajak peserta mendiskusikan langsung tentang pemetaan stakeholders. Supaya peserta memahami betul secara detil stakeholders perusahaan.

Sesi penutup pelatihan hari pertama, diisi oleh Satria Batubara, Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau. Tampil sangat energik, pria bertubuh tinggi besar ini mendiskusikan tema Menjalin Hubungan dengan Pers kepada peserta. Menurutnya, menjalin hubungan dengan pers sesungguhnya tidaklah sulit. Ia juga menyinggung soal independensi pers. Merujuk sebuah survei yang diselenggarakan World Association of Newspaper and News Publishers (WAN-IFRA), independensi pers akan dipengaruhi oleh faktor pemasang iklan, pemilik pers, dan organisasi massa.

 

Perilaku Wartawan “Bodrex”

Dalam sesi diskusi dengan narasumber, banyak peserta mengungkap tentang perilaku tidak profesional sejumlah orang yang mengaku wartawan. Misalnya mendatangi kantor kebun bukan untuk meminta informasi, melainkan meminta uang. “Jika bertemu dengan (oknum) wartawan seperti itu, sampaikan saja baik-baik  bahwa jika ingin mencari informasi tentu akan dilayani sepenuh hati. Namun jika urusan yang dikejar bukan perkara jurnalistik, sampaikan permintaan maaf jika tidak bisa melayani,” saran Asmono. Untuk meminimalisir praktik dan kehadiran wartawan “bodrex”, Asmono menyarankan agar di ruangan setiap humas PTPN V ditempel poster berisi 11 pasal Kode Etik Jurnalistik (KEJ). “Semoga dengan cara seperti itu, akan mampu meminimalisir kehadiran wartawan-wartawan tanpa suratkabar,” imbuhnya.

Mengisi hari kedua workshop, dengan materi “Mengenal Karakter Media dan Menjalin Hubungan Dengan Pers, hadir Wahyu Muryadi, Pemimpin Redaksi Tempo TV. Menyitir sejumlah ramalan tentang masa depan media cetak, ia mengatakan, bahwa kelak suratkabar  akan punah pada tahun 2043. Hal ini ditandai dengan bergugurannya sejumlah perusahaan suratkabar besar karena dipaksa reorganisasi dan munculnya media online.”

Disamping materi yang membuat peserta semakin mengetahui dan memahami tentang pers, Lahyanto Nadie, Redaktur Pelaksana Harian Bisnis Indonesia mengajak  peserta untuk terampil membuat press release dari sudut pandang media. Ia berharap, setiap kali mengadakan acara jumpa pers, seyogianya humas jangan membekali wartawan yang hadir dengan uang. Karena selain tidak mendidik, juga akan membuat wartawan tidak bisa menulis secara independen.

Di akhir pelatihan sebelum penutupan, hadir Syafriadi, Ketua SPS Cabang Riau. Doktor ilmu hukum media ini bercerita kepada peserta tentang sejarah pers di Riau. Menurutnya, dinamika pers di Riau dimulai pada tanggal 23 Juli 1906 dengan terbitnya Majalah Al-Iman oleh Radja ‘Ali bin Radja Moehammad Joesef Al-Ahmadi Yang Dipertoen Moeda Riau, atau Raja Ali Kelana. Walau bukan penerbit pertama di Indonesia, Al-Iman termasuk majalah yang terbit dengan semangat perjuangan di Indonesia. “Sejarah panjang itulah yang membuat Riau kini menjadi salah satu barometer pers di Indonesia, ditandai dengan jumlah penerbitan pers yang aktif terbit lebih dar 20 perusahaan pers,” tegas Syafriadi.

Pelatihan pun akhirnya ditutup oleh Direktur SDM PTPN V Sjamsu Rizal. Dalam kata sambutan penutupannya, ia mengapresiasi penyelenggaraan pelatihan semacam ini. “Rasanya tidak cukup pelatihan seperti ini hanya berlangsung satu kali. Insya Allah lain waktu kita adakan pelatihan serupa agar upaya peningkatan kapasitas praktisi humas perusahaan semakin optimal,” ujarnya disambut aplaus seluruh peserta. *** (eta/nia/asw)