Every Story Needs Editor

[IMG:img-20150610-100526-edit.jpeg]

Ungkapan bahwa konten adalah raja tampaknya masih tetap relevan hingga kini. Dalam konteks komunikasi yang efektif, konten memang merupakan elemen kunci dari sebuah pesan komunikasi yang menentukan nyambung atau tidaknya pesan yang dimaksud sender dengan yang dipahami receiver.

“Konten yang nyambung itu seperti kunci ketemu sama bolongannya,” kata Pemimpin Redaksi sekaligus Pemimpin Komunitas majalah Femina, Petty Siti Fatimah, saat menjadi pembicara Workshop Creative Writing and Photo Journalism bertema Creating A Great Content for A Good Corporate Reputation, di Hotel Harris Sunset Road, Kuta, Bali, Rabu (10/6/2015). Workshop yang digelar Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat itu, berlangsung dalam rangkaian acara Jambore Media dan PR Indonesia (JAMMPIRO), hasil kolaborasi SPS Pusat dengan majalah PR Indonesia.

Salah satu bentuk tulisan yang enak dibaca adalah konten yang ditulis melalui pendekatan story telling atau jurnalisme narasi. Menurut Petty, ada tiga aturan yang harus diperhatikan untuk membuat konten dengan pendekatan story telling. Pertama, siapa audiensnya dan apa kebutuhannya? Bukan hanya media komersial yang perlu mengetahui siapa audiensnya. Pengelola media internal perusahaan juga harus tahu siapa yang menjadi audiensnya.

“Karena kalau kita tidak mengetahui audiens, akhirnya kita seperti menulis untuk diri sendiri. Kata kita bagus tapi kok tidak pernah dibaca oleh audiensnya. Memang ini tidak sederhana, yang dimaksud adalah kita harus bisa memetakan pasarnya siapa,” katanya.

Rules kedua adalah medium apa yang digunakan? Press release juga butuh sentuhan story telling. Karena setiap hari banyak sekali press release yang masuk ke redaksi media. Story telling juga bisa diaplikasikan untuk penulisan laporan tahunan. Ia akan membuat data yang cenderung membosankan menjadi kontekstual dan hidup.

Aturan ketiga adalah pentingnya peran editor. Petty menegaskan, di media sebesar apapun, peran seorang editor sangat penting. Bahkan ia mengaku, tulisannya sendiri sebagai pemimpin redaksi pun tetap mendapatkan sentuhan seorang editor. “Every story needs editor. Jangan merasa tulisan kita sudah paling hebat sehingga tak perlu diedit. Dengan adanya beberapa orang yang mengedit tulisan, maka tulisan akan lebih sempurna,” katanya.

 

Ekspresif dan Berjiwa

Pendekatan story telling berguna agar komunikasi yang disampaikan lebih enak diterima dan penuh makna. Tidak hanya menyajikan  data, tapi juga menjelaskan konteks dari topik yang disajikan. Karena itu, tulisan story telling harus memenuhi beberapa unsur kreatif dan ekspresif. Tulisan itu mempunyai emosi atau jiwa. Ada kesan dan makna yang diperoleh setelah membaca tulisan, baik sedih, gembira, terinspirasi, maupun menjadi bersemangat. Unsur berikutnya adalah engaging. Kalau engage, orang akan melihat informasi lebih menarik dan dibutuhkan. Berikutnya, lanjut Petty, tulisan yang bagus itu berjiwa. Profil seorang bos yang sehari-hari kaku di kantor, tapi ternyata di luar dia adalah seoarang yang humoris, bisa menjadi salah satu contohnya.

Hal yang umum selalu ada dalam setiap tulisan adalah tiga elemen struktur mulai dari pembukaan, tengah, dan penutup. “Semua tulisan memang harus begitu, tapi pernahkah kita berpikir di depan kita harus bikin apa, di tengah mau bikin apa? Jadi kalau di depan kita harus ngeset ini mau cerita tentang apa, karakternya seperti apa, problemnya apa. Lalu di tengah masuk ke topik yang lebih besar, mulai ada diskusi dan debat, ada pendalaman. Terakhir ada konklusinya, bisa berbentuk solusi maupun pemicu untuk diskusi lebih lanjut,” jelasnya.

Berbasis Data

Selain Petty, worksop ini juga menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu Arif Priyambudi, Head of Design majalah Marketeers yang mengulas tema Memikat Pembaca dengan Kemasan Desain yang Atraktif. Dan esok harinya giliran Agus Susanto, redaktur foto Harian Kompas menyampaikan materi tentang teknik fotografi. Menurut Arif, desain yang bagus harus berbasis riset dan ada konsep yang jelas tidak sekadar indah. Lama bergelut di lembaga riset pemasaran MarkPlus, Arif memang terbiasa dididik untuk membuat karya berdasarkan data. Sebab, desainer berbeda dengan seniman. Kalau seniman dia bisa buat sesuatu sesuaka hati, tapi desainer harus membuat sesuatu produk dengan identitas dari brand perusahaannya.

“Desain media cetak yang menarik pun harus ada sentuhan personal yang kuat. Kalau divisualisasikan seperti orang, media kita itu seperti apa. Desain harus mencerminkan itu,” katanya. Di hari kedua, redaktur foto Harian Kompas, Agus Susanto, menjelaskan tentang berbagai teknik fotografi jurnalistik untuk menghasilkan foto yang bernilai berita. Selain memberikan berbagai teori, Agus juga berbagi pengalamannya sebagai fotografer. Acara hari kedua menjadi penutup workshop ini.

Para peserta merasakan banyak hal baru yang diperoleh dalam workhop creative writing. Para pembicara cukup antusias mendapatkan kesempatan berbagi pengetahuan dengan para para peserta dari berbagai daerah. “Saya cukup senang hari ini berbicara di depan teman-teman PR. Semoga acara ini bermanfaat bagi para peserta untuk diimplementasikan di kantor mereka,” kata Petty usai menyampaikan materinya. *** (nif)